بسم الله الرحمن الرحيم
Hati-Hati Dengan Lidah
Berbicara merupakan nikmat di antara sekian banyak nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepada kita, alatnya adalah lisan. Nikmat ini bisa dipakai untuk kebaikan atau keburukan.
Barang siapa yang mampu mengendalikannya dengan baik yaitu dengan menggunakannya untuk kebaikan atau jika tidak dengan diam, maka dia akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يَضْمَنْ لِيْ مَا بَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Barang siapa yang mau berjanji kepadaku untuk menjaga sesuatu yang berada di antara kedua rambut (kumis dan janggut, yakni mulut), serta yang berada di antara kedua kakinya (yakni farjinya), maka saya menjamin surga untuknya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Sebaliknya, barang siapa yang menggunakannya untuk keburukan, maka ketahuilah, bahwa lisannya itu dapat menyebabkannya binasa di dunia dan akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu,
أَلاَ أُخْبِرُكَ بِمَلاَكِ ذَلِكَ كُلِّهِ ؟ فَقُلْتُ : بَلىَ يَا رَسُوْلَ اللهِ . فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ وَقَالِ : كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا. قُلْتُ : يَا نَبِيَّ اللهِ، وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُوْنَ بِمَا نَتَكَلَّمَ بِهِ ؟ فَقَالَ : ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ، وَهَلْ يَكُبَّ النَاسُ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ –أَوْ قَالَ : عَلىَ مَنَاخِرِهِمْ – إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ .
“Maukah kamu aku beritahukan penopang semua itu?” Mu’adz menjawab, “Mau, wahai Rasulullah.” Maka Rasulullah memegang lisannya lalu bersabda, “Jagalah ini.” Aku (Mu’adz) pun berkata, “Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa karena ucapan yang kita keluarkan?” Beliau menjawab, “Bagaimana kamu ini, bukankah yang menyebabkan orang-orang terjungkil balik di atas wajahnya di neraka -atau Beliau bersabda- di atas hidungnya, melainkan karena ulah lisan mereka.” (HR. Tirmidzi, ia katakan, “Hadits hasan shahih")
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh kita agar menjaga lisan. Beliau bersabda:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ
“Dan barang siapa yang beriman kepada Allah serta hari akhir, maka berkata-katalah yang baik atau diam.” (HR. Bukhari-Muslim)
‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu 'anhu pernah berkata, “Berbicara itu seperti obat, jika sedikit bisa bermanfa’at. Namun jika banyak (dikonsumsi) bisa mematikan.”
Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, “Jika hendak berbicara, maka berfikirlah dahulu sebelum bicara. Jika ada maslahatnya barulah bicara. Namun jika ragu-ragu, maka tunggulah dengan tidak berbicara sampai jelas (maslahatnya).”
Umar bin Abdul ‘Aziz pernah berceramah sampai membuat orang-orang tersentuh hatinya dan menangis. Ia pun menghentikan ceramahnya, lalu ada orang yang berkata kepadanya, “Kalau sekiranya anda mau melanjutkan kata-kata anda, kami berharap Allah memberikan manfaat dengannya”, lalu Umar mengatakan, “Sesungguhnya kata-kata ini fitnah (cobaan), perbuatan itu lebih layak dilakukan oleh seorang mukmin daripada berkata-kata.”
Contoh maksiat lisan
Memang, di antara anggota badan yang paling ringan digerakkan adalah lisan. Tetapi ingat, lisan adalah anggota yang paling berbahaya baginya. Banyak sekali maksiat yang dilakukan oleh lisan yang mengakibatkan seseorang terjatuh ke jurang neraka. Di antaranya adalah sbb:
1. Kadzib (dusta)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
“Dan jauhilah oleh kalian berdusta, karena berdusta membawa seseorang kepada perbuatan jahat dan perbuatan jahat membawanya ke neraka. Jika seseorang selalu berdusta dan lebih memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allah sebagai Kazzab (pendusta).” (HR. Bukhari-Muslim)
Al Maawardiy berkata, “Dusta adalah penghimpun seluruh kejahatan dan pangkal setiap perbuatan tercela. Hal itu disebabkan akibatnya yang buruk dan hasilnya yang jelek; karena bisa melahirkan namimah (adu domba), sedangkan namimah melahirkan kebencian, dan kebencian akan membawa kepada permusuhan. Dan kalau sudah bermusuhan, sudah tentu tidak dirasakan lagi rasa aman dan tentram. Oleh karena itulah dikatakan, “Barang siapa yang sedikit kejujurannya, maka sedikit pula temannya.”
Seseorang dibolehkan berdusta hanyalah dalam tiga kondisi saja; dalam peperangan, mendamaikan dua pihak yang bertengkar dan pada pembicaraan antara suami dengan istrinya, demikian sebaliknya. Ibnu Syihab mengatakan, “Aku tidak mendengar adanya keringanan berdusta pada kata-kata manusia kecuali dalam tiga hal; perang, mendamaikan orang yang bertengkar dan pada pembicaraan antara suami dengan istrinya atau istri dengan suaminya.” (Diriwayatkan oleh Muslim)
Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa dusta di sini adalah dusta sebenarnya, dan ada juga yang berpendapat bahwa dusta di riwayat ini adalah tauriyah, misalnya dalam peperangan seseorang mengatakan, “Pemimpin besar kalian telah tewas” agar pasukan musuh menjadi gentar, yakni ia maksudkan dalam hatinya “Pemimpin besar mereka yang dahulu pernah tewas.”
Adapun maksud “pada pembicaraan antara suami dengan istrinya atau istri dengan suaminya” adalah bukan untuk menipu isteri, dalam arti mencegah haknya yang seharusnya diberikan, hal ini jelas haram.
2. Ghibah
Imam Nawawiy rahimahullah berkata, “Ghibah adalah membicarakan seseorang tentang hal yang tidak disukainya (jika dibicarakan), baik berkaitan dengan badan orang itu, ibadahnya, keduniaannya, kepribadiannya, fisiknya, akhlaknya, hartanya, anaknya, istrinya, pembantunya, pakaiannya, gerakannya, raut mukanya, masam mukanya dan hal-hal lain yang berkaitan dengan dirinya, baik menyebutkan secara langsung dengan kata-kata maupun dengan isyarat dan kedipan mata.”
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman melarang ghibah,
"Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang lain dan janganlah menggunjingkan (ghibah) antara satu sama lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (terjemah Al Hujurat: 12)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ *
“Tahukah kamu apa ghibah itu?” Para shahabat menjawab, “Allah dan RasulNya lebih mengetahui”, Beliau menjawab, “Kamu sebutkan tentang saudaramu hal yang tidak disukainya”, Beliau pun ditanya, “Bagaimana jika demikian keadaan saudaraku, yakni sesuai yang aku katakan?” Beliau menjawab, “Jika sesuai yang kamu katakan berarti kamu telah mengghibahnya. Namun jika tidak demikian keadaan saudaramu maka kamu telah berdusta.” (Diriwayatkan oleh Muslim)
Imam Nawawiy berkata, “Ketahuilah, sepatutnya bagi seseorang yang mendengar ghibah untuk membantahnya, melarang orangnya. Jika dengan kata-kata tetap tidak berhenti, maka dengan tangannya. Namun jika ia tidak mampu (mencegahnya) dengan lisan maupun dengan tangan, maka dengan menyingkir dari majlis itu. Namun, jika ia mendengar syaikhnya atau orang yang memiliki hak terhadapnya dighibahi, atau yang dighibahi adalah orang yang memiliki keutamaan atau keshalihan, maka melakukan yang kami sebutkan di atas lebih didahulukan.”
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang keutamaan membela kehormatan saudaranya ketika dihinakan,
مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ النَّارَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ
“Barang siapa yang membela kehormatan saudaranya, maka Allah akan menjauhkan wajahnya dari neraka pada hari kiamat.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ 5/160)
Sebaliknya, bagi yang membiarkan kehormatan saudaranya diinjak-injak, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنِ امْرِئٍ يَخْذُلُ امْرَءاً مُسْلِماً فِي مَوْضِعٍ تُنْتَهَكُ فِيْهِ حُرْمَتُهُ وَيُنْتَقَصُ فِيْهِ مِنْ عِرْضِهِ إِلاَّ خَذَلَهُ اللهُ فِي مَوْطِنٍ يُحِبُّ فِيْهِ نُصْرَتَهُ. وَمَا مِنِ امْرِئٍ يَنْصُرُ مُسْلِماً فِي مَوْضِعٍ يُنْتَقَصُ فِيْهِ مِنْ عِرْضِهِ وَيُنْتَهَكُ فِيْهِ مِنْ حُرْمَتِهِ إِلاَ نَصَرَهُ اللهُ فِي مَوْطِنٍ يُحِبُّ فِيْهِ نُصْرَتَهُ
“Tidak ada seorang pun yang membiarkan seorang muslim di tempat kehormatannya diinjak-injak dan dihinakan, kecuali Allah akan membiarkannya di tempat yang ia membutuhkan pertolongan-Nya. Dan tidak ada seorang pun yang membela seorang muslim di tempat yang diinjak-injak dan dihinakan kehormatannya, kecuali Allah akan membelanya di tempat yang ia membutuhkan pertolongan-Nya.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad, Syaikh Al Albani menghasankannya dalam Shahihul Jami’ 5/160)
Ghibah hanyalah dibolehkan jika ada tujuan syar’i. Berikut ini, kesimpulan ghibah yang dibolehkan berdasarkan kandungan beberapa hadits, antara lain:
Tazhallum, yakni mengeluhkan kezaliman yang menimpanya agar kezalimannya hilang. Misalnya seseorang mendatangi pemerintah atau hakim dan mengatakan, “Si fulan telah menzhalimi saya.”
Meminta bantuan kepada orang yang berkuasa untuk merubah kemungkaran. Misalnya mengatakan, “Si fulan melakukan perbuatan ini, tolong cegahlah dia.”
Meminta fatwa. Seperti pada kata-kata Hind (istri Abu Sufyan) kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang bakhil, lantas bolehkah saya mengambil hartanya secara sembunyi-sembunyi (untuk kebutuhan sehari-hari)?” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:
خُذِيْ أَنْتِ وَبَنُوْكِ مَا يَكْفِيْكِ بِالْمَعْرُوْفِ
“Ambillah olehmu dan anakmu secukupnya secara ma’ruf.” (HR. Bukhari)
Tahdzir (mengingatkan saudaranya agar tidak tertipu), seperti menjarh (mencacatkan) perawi dan saksi.
Terhadap orang yang jelas-jelas menampakkan kemaksiatan atau kebid’ahan.
Ta’rif (mengenalkan). Misalnya agar orang lain tahu ketika ditanya, yakni dengan menyebutkan cirinya, “Orangnya kurus, pendek dsb,” dengan tidak bermaksud menjelekkanya.
3. Namiimah (mengadu domba)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ
“Tidak masuk surga orang yang mengadu domba.” (HR. Muslim)
Kata-kata “Tidak masuk surga” bukanlah berarti kekal di neraka, tetapi maksudnya di awal-awalnya dia tidak masuk surga sebagaimana diterangkan dalam Fat-hul Bariy.
Namimah termasuk dosa besar berdasarkan hadits Ibnu Abbas berikut:
Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melewati dua buah kubur, lalu bersabda,
« إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ ، وَمَا يُعَذَّبَانِ مِنْ كَبِيرٍ - ثُمَّ قَالَ - بَلَى أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ يَسْعَى بِالنَّمِيمَةِ ، وَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ »
“Keduanya sedang disiksa, keduanya disiksa karena mengira bukan dosa besar”, Beliau melanjutkan sabdanya, “Bahkan sebenarnya (dosa besar)." Adapaun salah satunya, ia pergi ke sana kemari mengadu domba, sedangkan yang satu lagi tidak menjaga diri dari kencingnya.”
Ibnu Abbas berkata, “Beliau pun mengambil dahan basah dan mematahkannya menjadi dua bagian, lalu menancapkan masing-masing ke atas kuburan, Beliau bersabda, “Mudah-mudahan hal ini dapat meringankan siksanya selama belum kering.” (HR. Bukhari)
Perbuatan Beliau menancapkan dahan ke masing-masing kubur adalah hanya khusus untuk Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak selainnya.
Contoh menggunakan lisan untuk kebaikan
Di antara contoh menggunakan lisan untuk kebaikan adalah berdzikr, membaca Al Qur’an, memberi nasehat kepada orang lain, beramr ma’ruf (menyuruh mengerjakan perintah Allah) dan bernahy munkar (melarang orang lain mengerjakan maksiat), bershalawat kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdakwah, berdo’a kepada Allah dsb.
Khitaaman (penutup)
‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu 'anhu pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, di manakah letak keselamatan?” Beliau menjawab,
أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ، وَابْكِ عَلىَ خَطِيْئَتِكَ
“Jagalah lisanmu, sempatkanlah berada di rumahmu dan tangisilah dosa-dosamu.” (HR. Tirmidzi, Shahihul Jami’ no. 1388)
Marwan bin Musa
Maraaji’: Daliilus Saa’iliin (Anas Ismaa’il), Aafatul lisan (Dr. Sa’id Al Qahthaniy), Al Kidzb mazhaahiruh-‘ilaajuh (M. bin Ibrahim Al Hamd), Al Adzkar dll.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar