Jumat, 03 Juli 2009

Fiqh amr ma'ruf dan nahi munkar

بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Amar Ma'ruf-
Nahi Munkar

Sesungguhnya Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar merupakan prinsip penting dalam Islam. Hal itu dikarenakan, baiknya kehidupan manusia tergantung sejauh mana keta'atan mereka kepada Allah dan rasul-Nya, dan untuk mencapai keta'atan secara sempurna atau mendekati ke arahnya dibutuhkan saling mengingatkan, meluruskan dan memperbaiki atau dengan kata lain harus diadakan Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar. Dengan demikian, ummat Islam menjadi ummat terbaik. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik." (Ali Imraan: 110)

Ta'rif (definisi) Ma'ruf dan Munkar

Ma'ruf secara syara' artinya semua yang diperintahkan syara', dipujinya perbuatan itu dan dipuji juga pelakunya. Termasuk ke dalam ma'ruf adalah semua keta'atan. Contoh perkara ma'ruf mengajak manusia untuk beribadah hanya kepada Allah Ta'ala, beriman kepada Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, berhajji bagi yang mampu, berbakti kepada orang tua, berkata jujur, memenuhi janji, menunaikan amanah, menghidupkan Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, menyambung tali silaturrahim (hubungan kekerabatan), berbuat baik kepada keluarga, tetangga, anak yatim, orang miskin dan melakukan akhlak mulia lainnya. Munkar secara syara' artinya semua yang diingkari syara', dicelanya perbuatan itu dan pelakunya. Termasuk ke dalam munkar adalah semua kemaksiatan. Contoh perkara munkar adalah kufur kepada Allah dan berbuat syirk, meninggalkan shalat atau menundanya hingga lewat waktunya, meninggalkan shalat Jum'at dan jama'ah, durhaka kepada orang tua, memutuskan tali silaturrahim, berbuat jahat kepada tetangga, bermu'amalah dengan cara riba, berkata dusta, ghibah (menggunjing orang), namimah (mengadu domba), wanita membuka auratnya, mengurangi takaran dan timbangan, mengadakan bid'ah dalam agama dan lain-lain.

Hukum Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar

Amar ma'ruf dan nahi munkar hukumnya wajib bagi setiap muslim yang mampu melakukannya. Wajibnya adalah wajib kifayah (lih. Ali Imraan: 104), jika sudah ada yang melakukannya, maka yang lain tidak berdosa. Letak kewajibannya terletak di kemampuan, sehingga seseorang wajib melakukannya sesuai kemampuan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Barangsiapa yang melihat kemungkaran di antara kamu, maka rubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya, itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah dan Ahmad)
Imam An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim berkata: "Amar ma'ruf dan nahi munkar bisa saja menjadi fardhu 'ain (wajib bagi masing-masing orang) seperti berada di tempat, di mana hanya dia yang mengetahuinya atau tidak ada yang dapat menyingkirkan kemunkaran itu kecuali dia, juga seperti orang yang melihat isterinya, budaknya atau anaknya melakukan kemunkaran atau meremehkan perkara ma'ruf."

Perlunya Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا ، فَكَانَ الَّذِينَ فِى أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوا : لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِى نَصِيبِنَا خَرْقاً ، وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا . فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعاً ، وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعاً
"Perumpamaan orang yang menjalankan perintah Allah dengan orang yang melanggarnya seperti beberapa orang yang hendak menaiki kapal, mereka melakukan undian untuk menaikinya, akhirnya sebagian mereka menempati bagian atas dan yang lain bagian bawah. Penumpang yang berada di bawah ketika hendak mengambil air selalu melewati orang-orang yang berada di atas, lalu ada di antara mereka yang mengusulkan, "Apa tidak sebaiknya, kita lobangi tempat kita sehingga tidak mengganggu orang yang berada di atas kita." Jika mereka semua meninggalkan (tidak mencegahnya), maka mereka semua akan binasa, namun jika mereka mencegahnya, maka mereka akan selamat, selamat semuanya." (HR. Bukhari, Tirmidzi dan Ahmad)
وَالَّذِيْ نَفْسِي بِيَدِهِ، لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ، وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ، أَوْ لَيُوْشِكُنَّ اللهُ يَبْعَثُ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ، ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلاَ يَسْتَجِيْبُ لَكُمْ
"Demi Allah yang jiwaku berada di Tangan-Nya. Kamu harus melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar, atau jika tidak, Allah bisa segera menimpakan azab dari sisi-Nya dan ketika kamu berdo'a tidak dikabulkan-Nya." (HR. Tirmidzi, ia berkata, "Hadits hasan.")
Bahkan meninggalkan amar ma'ruf dan nahi munkar adalah kebiasaan orang-orang yahudi sehingga mereka dilaknat, lih. Al Maa'idah: 78-79.

Syarat perbuatan yang wajib diingkari (dilakukan nahi munkar)

Syarat perbuatan yang wajib diingkari adalah:
1. Perbuatan itu adalah munkar (maksiat), baik maksiat kecil maupun besar.
2. Kemungkaran itu masih berjalan. Oleh karena itu, jika sudah berhenti, maka cukup dinasehati pelakunya.
3. Kemungkaran itu nampak, tanpa dimata-matai, karena tidak boleh memata-matai seorang muslim.
4. Perbuatan tersebut memang sudah diketahui munkar berdasarkan Al Qur'an, hadits, ijma' atau qiyas yang jaliy (jelas). Adapun masalah yang diperselisihkan (khilafiyyah), maka tidak berlaku nahi mungkar di sana, karena al ijtihaad laa yunqadhu bil ijtihad (ijtihad ridak dapat dibatalkan dengan ijtihad), namun bid'ah dalam agama bukanlah masalah khilafiyyah.
Ada yang menambahkan syarat melakukan nahi munkar, yaitu mendapatkan izin dari imam, namun pendapat ini lemah karena masing-masing kaum muslimin sejak zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar tanpa meminta izin dari imam.

Adab beramar ma'ruf dan bernahi munkar

Bagi orang yang melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar hendaknya memperhatikan adab-adab berikut:
 Memiliki niat yang ikhlas.
 Memiliki ilmu, yakni bahwa yang diperintahkannya adalah benar-benar perkara yang ma'ruf menurut syara' (ada dalilnya), sebagaimana yang dilarangnya adalah perkara yang munkar menurut syara'.
 Hendaknya ia bersikap wara’, yakni tidak mengerjakan perkara munkar yang hendak dicegahnya serta tidak meninggalkan perkara ma'ruf yang hendak diperintahkannya (terutama hal-hal yang wajib, jangan sampai ia meninggalkannya). Misalnya ia menyuruh orang lain melaksanakan shalat berjama'ah, namun dirinya malah meninggalkannya –padahal yang rajih hukum shalat berjama'ah adalah wajib-. Lih. surat Al Baqarah: 44.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِى النَّارِ ، فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِى النَّارِ ، فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِرَحَاهُ ، فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ ، فَيَقُولُونَ : أَىْ فُلاَنُ ، مَا شَأْنُكَ ؟ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ ؟ قَالَ : كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ
"Akan dihadapkan seseorang nanti pada hari kiamat, lalu dilempar ke dalam neraka sampai usus-ususnya keluar. Ia pun berputar seperti berputarnya keledai di penggilingan. Lalu para penghuni neraka berkumpul mendatanginya dan berkata, "Hai fulan, ada apa denganmu? Bukankah kamu menyuruh mengerjakan yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar?" ia menjawab: "Saya menyuruh kamu mengerjakan yang ma'ruf, namun saya sendiri tidak mengerjakan dan saya menyuruh kamu menjauhi yang munkar, namun saya sendiri melakukannya." (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
 Hendaknya ia berakhlak mulia, sabar memikul sikap kasar dari orang lain, menyuruh dengan lemah lembut, demikian juga melarang dengan lemah lembut. Ia tidak marah dan dendam ketika mendapatkan gangguan dari orang yang dilarangnya, bahkan ia bersabar dan mema’afkan. Allah berfirman:
"Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik, cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu, termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)." (terj. Luqman: 17)
 Jangan sampai untuk mengetahui kemungkaran ia melakukan tajassus (memata-matai), karena tidak dibenarkan mengetahui hal yang mungkar dengan cara memeriksa dan memata-matai, lih. Al Hujurat: 11.
 Sebelum melakukan amr ma’ruf dan nahy mungkar, hendaknya ia memberitahukan dahulu mana yang ma’ruf, karena mungkin orang tersebut meninggalkannya disebabkan ketidaktahuan, atau ia memberitahukan bahwa perkara tersebut adalah mungkar, karena bisa jadi, orang yang diingkarinya menyangka perbuatannya bukan munkar.
 Hendaknya ia bersikap bijak (hikmah), yakni dengan memposisikan sesuatu pada tempatnya, hendaknya ia mengetahui tingkatan dakwah (mana yang harus didahulukan dalam dakwah), keadaan mad'uw (orang yang didakwahi) serta memperhatikan maslahat dan mafsadat yang mungkin timbul. Lihat dalilnya di surat An Nahl: 125.
 Dalam beramr ma’ruf dan bernahy mungkar hendaknya ia gunakan cara yang lebih ringan dahulu, menasihatinya dengan kata-kata yang dapat menyentuh perasaannya seperti menyebutkan ayat atau hadits yang isinya targhib (dorongan) dan tarhib (ancaman). Jika tidak berhasil, maka dengan cara di atasnya (agak tegas). Jika tidak berhasil juga, maka dengan tangannya –hal ini bila kita memiliki kekuasaan terhadapnya-. Namun bila tidak mampu melakukan hal itu, kita bisa meminta bantuan kepada saudara kita atau pemerintah.
 Jika ia tidak mampu merubah kemungkaran dengan tangan dan lisannya karena mungkin ia mengkhawatirkan keadaan dirinya, hartanya atau kehormatannya, ia pun tidak kuat bersabar menghadapi ancaman, maka ia wajib mengingkari meskipun dengan hatinya.

Kemungkinan yang akan terjadi setelah nahi munkar

Dalam melakukan nahi munkar, biasanya ada 4 kemungkinan yang akan terjadi:
1. Yang munkar menjadi hilang dan digantikan dengan yang ma’ruf.
2. Yang munkar berkurang atau menjadi lebih kecil, namun tidak hilang secara keseluruhan.
3. Yang munkar menjadi hilang, namun digantikan dengan kemunkaran yang sama besarnya.
4. Yang munkar itu hilang, namun digantikan dengan kemunkaran yang lebih besar.
Maka dalam menghadapi dua kemungkinan pertama (no. 1 & 2), nahi mungkar disyari’atkan. Pada no. 3 merupakan tempat berijtihad dan pada no. 4 kita jangan melakukan nahy munkar.

Kelompok manusia dalam beramar ma'ruf dan bernahi munkar

Ada dua kelompok manusia yang keliru dalam menanggapi amar ma’ruf dan nahi munkar:
Pertama, golongan yang meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Misalnya menyerah kepada keadaan, tidak punya ghirah (rasa cemburu) keagamaan dsb.
Kedua, golongan yang melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar dengan tangan secara membabi buta. Dalam arti tanpa mengerti persoalan secara jelas atau tanpa menimbang manfa’at dan mafsadat. Contohnya adalah orang-orang yang bermodal semangat, ia langsung menghantam sana dan sini tanpa mengindahkan dhawabit (ka’idah-ka’idah) dalam beramr ma’ruf dan bernahi munkar.
Yang benar adalah pertengahan di antara keduanya, yaitu ia tetap peduli terhadap amar ma'ruf dan nahi munkar serta melakukannya dengan memperhatikan dhawabith yang ada.

Kapankah gugur Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar?

Amar ma'ruf dan nahi munkar bisa menjadi gugur dalam keadaan-keadaan tertentu, di antaranya:
1. Ketika nasehat sudah tidak diterima dan tidak bermanfa'at, karena kondisi sudah berubah, misalnya masing-masing orang bangga dengan pendapat dan sikapnya, dunia di nomer satukan, hawa nafsu diperturutkan, lihat surat Al A'laa: 9 dan Al Maa'idah: 105.
2. Jika dilakukan amar ma'ruf dan nahi munkar ternyata malah menimbulkan kemungkaran yang lebih besar lagi. Lih. Al An'aam: 108.
3. Tidak memiliki kemampuan atau mengkhawatirkan bahaya bagi dirinya, keluarganya atau kaum muslimin.
Perhatikanlah keadaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya saat masih di Makkah, Beliau tidak melakukan jihad atau pembelaan ketika sebagian sahabat disakiti, hal itu karena jumlah kaum muslimin masih sedikit, jika dilakukan perlawanan, maka kaum muslimin bisa habis dibinasakan.
Namun perlu diingat, bahwa gugurnya amar ma'ruf dan nahi munkar dalam keadaan di atas adalah dengan tangan dan lisan, adapun hati bagaimana pun juga wajib mengingkari dan tidak meridhainya.

Nasehat ulama

Imam Ahmad dalam risalah As Shalah berkata: "Semoga Allah merahmati seseorang yang melihat saudaranya mendahului imam, ia ruku' atau sujud bersamaan dengannya atau ketika ada orang yang shalat sendiri dan cara shalatnya salah, ia pun menasehatinya, memerintah dan melarang serta tidak mendiamkannya. Karena menasehatinya adalah wajib dan harus baginya, dan mendiamkannya adalah dosa. Sesungguhnya setan ingin kalian bersikap diam terhadap apa yang diperintahkan Allah, ia juga ingin kalian meninggalkan tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan yang diperintahkan Allah, dan tidak memberi nasehat antara sesama kalian agar kalian sama-sama berdosa. Setan juga ingin agama ini lenyap dan hilang, ia ingin agar kalian tidak menghidupkan sunnah dan agar kalian tidak mematikan bid'ah…"

Marwan bin Musa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar