Jumat, 03 Juli 2009

Hakikat Hidup di Dunia

بسم الله الرحمن الرحيم
Hakikat Hidup di Dunia

Allah Subhaanahu wa Ta'aala sebelum menciptakan manusia, sudah menciptakan surga dan neraka. Surga disiapkan untuk orang-orang yang bertakwa kepada-Nya, sebaliknya neraka disiapkan untuk orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedangkan mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar.----Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka…dst. (terj. An NIsaa’: 13-14)
Surga adalah tempat yang indah dan penuh dengan kenikmatan. Karena indahnya, sampai tidak dapat terbayangkan oleh akal fikiran, tidak pernah dilihat oleh mata dan tidak pernah terdengar oleh telinga. Jika seseorang masuk surga, maka ia akan hidup selama-lamanya, akan muda selama-lamanya, akan sehat selama-lamanya dan akan senang selama-lamanya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
« يُنَادِى مُنَادٍ إِنَّ لَكُمْ أَنْ تَصِحُّوا فَلاَ تَسْقَمُوا أَبَدًا وَإِنَّ لَكُمْ أَنْ تَحْيَوْا فَلاَ تَمُوتُوا أَبَدًا وَإِنَّ لَكُمْ أَنْ تَشِبُّوا فَلاَ تَهْرَمُوا أَبَدًا وَإِنَّ لَكُمْ أَنْ تَنْعَمُوا فَلاَ تَبْتَئِسُوا أَبَدًا » .
“Akan ada penyeru (kepada penghuni surga): “Sesungguhnya kalian akan sehat dan tidak akan sakit selama-lamanya, kalian akan hidup dan tidak akan mati selama-lamanya, kalian akan muda dan tidak akan tua selama-lamanya, kalian akan senang dan tidak akan sengsara selama-lamanya.” (HR. Muslim)
Inilah kenikmatan yang sempurna dan kesenangan yang sesungguhnya. Berbeda dengan dunia, ketika senang disudahi dengan kesedihan, ketika hidup disudahi dengan kematian, ketika sehat disudahi dengan sakit dan ketika muda disudahi dengan masa tua. Dan lagi, kesenangan yang ada di dunia, hanya diraih dengan kerja keras dan usaha, di samping hanya sebentar dan tidak berlangsung lama. Berbeda dengan surga, apa yang kita inginkan ada, tanpa perlu kerja keras dan berusaha, bahkan kita hanya menikmati sambil duduk santai di atas dipan-dipan dengan dilayani oleh anak-anak muda. Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Mereka berada di atas dipan yang bertahta emas dan permata--Seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan--Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda,---Dengan membawa gelas, cerek dan minuman yang diambil dari air yang mengalir,---Mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk,---Dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih,---Dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.---Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli,---Laksana mutiara yang tersimpan baik.---Sebagai Balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (terj. Al Waaqi’ah: 15-24)
Penghuninya bersaudara, dan tidak bermusuh-musuhan. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedangkan mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.---Mereka tidak merasa lelah di dalamnya dan mereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan daripadanya.” (terj. Al Hijr: 47-48)
Serta kenikmatan lainnya yang begitu banyak.
Kenikmatan seperti inilah yang seharusnya dikejar dan didamba-dambakan oleh setiap insan, bukan kesenangan yang sementara (dunia). Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (Al Muthaffifin: 26)
Namun anehnya, kebanyakan manusia lebih mengedepankan kehidupan dunia, meninggalkan akhirat. Allah Subhaanahu wa Ta'aala befirman:
“Bahkan kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia---Dan meninggalkan (kehidupan) akhirat.” (terj. Al Qiyamah: 20-21)
Mereka rela mengorbankan fikiran dan tenaga untuk memperoleh kehidupan dunia yang fana, bahkan sejak mereka bangun tidur hinggu tidur kembali, yang difikirkan mereka hanyalah “dunia”, lupa dengan akhirat, mereka rela bekerja keras untuk mendapatkan kenikmatan yang sesaat, namun untuk kenikmatan yang sesungguhnya, berat sekali melakukannya, bahkan sampai ada yang tidak menyisakan sedikit pun waktunya untuk akhirat. Fa innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun.
Hakikat hidup di dunia
Saudaraku, surga yang demikian nikmat tidaklah murah. Untuk memperolehnya, tidak mungkin dengan berleha-leha dan santai begitu saja. Bahkan untuk memasukinya kita perlu dites terlebih dahulu, sebagaimana jika kita hendak memasuki sebuah perguruan tinggi yang sangat bagus dengan sarananya yang lengkap ditambah biayanya yang ringan atau gratis, kita tidak mudah masuk begitu saja, bahkan harus dites dahulu, jika berhasil barulah kita bisa memasukinya. Demikian juga jika kita ingin masuk surga.
Ya, manusia akan dites atau diuji dahulu, namun di manakah mereka dites dan apa bentuk tesnya???
Tidak lain dan tidak bukan, manusia dites atau diuji terlebih dahulu di dunia. Jadi, dunia yang kita jalani ini merupakan tempat ujian, bukan tempat tujuan. Inilah sesungguhnya hakikat hidup di dunia, kalau sekiranya kita mengetahui. Allah Ta'aala berfirman:
“Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu---Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,” (terj. Al Mulk: 1-2)
Yakni bahwa kita akan diuji di dunia ini agar nampak jelas siapakah di antara kita yang paling baik amalnya, yakni yang paling ikhlas dan paling sesuai dengan tuntunan Rasul-Nya, dengan begitu kita dapat masuk ke dalam surga Allah yang luasnya seluas langit dan bumi.
Jika demikian, sudahkah kita menjalani ujian ini dengan sebaik-baiknya, sudahkah kita memperbaiki amal kita; apakah amal yang kita lakukan adalah amal shalih atau sebuah kemaksiatan, apakah amal shalih yang kita kerjakan ikhlas karena Allah atau tidak dan apakah amal shalih yang kita lakukan sesuai dengan tuntunan rasul-Nya atau tidak?

Bentuk ujian yang dilalui manusia
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?---“Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (terj. Al ‘Ankabut: 2-3)
Bentuk ujian yang dilalui manusia ada dua:
1. Ujian syahwat (fitnah syahwat)
Yakni manusia dalam hidupnya di dunia, akan diuji dan digoda dengan hal-hal yang enak dan sejalan dengan selera hawa nafsunya. Godaan tersebut bisa berupa wanita, anak-anak, harta yang banyak, perniagaannya dsb. Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diinginkannya, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah tempat kembali yang baik (surga).” (terj. Ali Imran: 14)
Jika seseorang dapat bersabar, dalam arti tidak tergoda dengan hal-hal di atas, yakni wanita, anak-anak, harta, perniagaannya dsb. tidak membuatnya lalai dari mengingat Allah, tidak membuatnya meninggalkan kewajiban dan tidak membuatnya jatuh mengerjakan larangan, maka dia akan beruntung di dunia dan di akhirat. Kepada mereka akan dikatakan:
"Salamun 'alaikum bima shabartum" (keselamatan atasmu berkat kesabaranmu). Maka Alangkah baiknya tempat kesudahan itu (surga).” (terj. Ar Ra’d: 24)
Sebaliknya, barang siapa yang termakan oleh godaan itu, yakni membuatnya meninggalkan perintah dan jatuh mengerjakan larangan, maka ia akan rugi di dunia dan di akhirat. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi.” (terj. Al Munafiqun: 9)
Contoh nyata dalam hal ini adalah ketika azan memanggilnya untuk shalat, jika ia sampai tidak mau mendatanginya karena sibuk mengurus hartanya atau sibuk dengan bisnisnya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang rugi.
2. Ujian syubhat (fitnah syubhat)
Syubhat secara bahasa artinya mirip atau serupa. Dikatakan perkara yang mirip dengan kebenaran sebagai syubhat, karena kelihatan dari luarnya seakan-akan benar. Ujian syubhat ini pertama kali menimpa Iblis karena qias batilnya yang digunakan untuk menolak perintah Allah sujud kepada Adam sebagai penghormatan kepadanya,
Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Iblis menjawab: "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah". (terj. Al A’raaf: 12)
Jika kita memperhatikan kata-kata Iblis, seakan-akan isinya benar, tetapi bagi orang yang berpandangan jauh (ulama) kata-kata ini jelas salah, karena tanah lebih baik daripada api. Kebiasaan api adalah membakar, merusak, keadaannya tidak kokoh (goyang) dan cepat (terburu-buru). Sedangkan keadaan tanah adalah tenang, mudah diolah dan bermanfa’at sehingga dapat menumbuhkan tanaman. Oleh karena itu, Adam ‘alaihis salam yang diciptakan dari tanah lebih mudah rujuk (kembali kepada Allah), bertobat, tunduk kepada perintah Allah, mengakui kesalahan dan meminta ampunan-Nya. Berbeda dengan Iblis yang malah semakin sombong dan angkuh. Dari sinilah diketahui bahwa jika seseorang terkena ujian syahwat lebih mudah kembali daripada terkena ujian syubhat.
Syubhat ini bagi orang yang kurang dalam ilmunya terlihat seakan-akan baik, bagus dan benar, seperti inilah keadaan bid’ah, di mana kebanyakan manusia menganggapnya baik. padahal di balik itu ada bahaya yang besar bagi agama ini (membuatnya rusak), dan bahaya tersebut umumnya hanya diketahui oleh orang-orang yang dalam ilmu agamanya (ulama).

Kemudian bagaimanakah cara menghadapi ujian syubhat ini?
Berikut hal yang perlu disiapkan untuk menghadapi fitnah tersebut:
1. Menjaga tauhid dan menjauhi syirk.
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirk), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (terj. Al An’aam: 82)
2. Berpegang teguh dengan kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dengan pemahaman As Salafush Shaalih (generasi pertama Islam).
Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ *
“Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala, tunduk dan patuh kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak, karena barang siapa yang hidup di antara kalian (sepeninggalku), maka ia akan menyaksikan banyak perselisihan. Oleh karena itu, hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah dengan kuat) dengan geraham. Hendaklah kalian menghindari perkara yang diada-adakan, karena semua perkara bid’ah adalah sesat.“ (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Apa yang disampaikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam benar-benar terjadi, setelah Beliau wafat kaum muslimin berselisih dan berpecah belah. Namun demikian, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membiarkan begitu saja umatnya kebingungan saat menyaksikan keadaan yang beraneka ragam tersebut, bahkan Beliau memberikan jalan keluar kepada kita, yaitu dengan memegang teguh sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, meskipun menyelisihi kebanyakan orang. Tidak sebatas itu, Beliau juga menyuruh kita mengikuti para khalifah (pengganti) Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, yang tidak lain adalah para sahabat Beliau, terdepannya adalah khalifah yang empat; Abu Bakr, Umar, Utsman dan Ali radhiyallahu 'anhum. Hal itu, karena bisa saja di antara golongan-golongan itu berdalih dengan ayat atau hadits, namun dalam memahaminya tidak seperti yang dipahami Beliau dan para sahabatnya.
3. Mendekat kepada para ulama rabbani
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri).” (terjemah An Nisaa’: 83)
Makna “Ulil Amri” di sini adalah ulama. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kami ketika timbul kekhawatiran, pikiran kami kacau dan bumi (yang luas) terasa sempit, kami mendatangi beliau (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah), kami perhatikan dan dengarkan kata-katanya sehingga hilanglah (syubhat) yang menimpa kami semuanya.”
4. Berdoa kepada Allah agar diberi keteguhan hati.
Hati manusia semuanya berada di antara dua jari di antara jari-jari Allah, Dia mudah membalikkannya jika Dia menghendaki (sebagaimana dalam hadits riwayat Ahmad dan Muslim). Oleh karena itu, Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam sering berdo’a dengan do’a berikut:
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلىَ دِيْنِكَ
“Wahai Allah yang membolak-balikan hati, teguhkanlah hatiku ini di atas agamamu.” (HR. Tirmidzi dari Anas, lih. Shahihul Jami’ 7864)
Marwan bin Musa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar